Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Pendidikan mewajibkan penggunaan bahasa Jawa di setiap sekolah setiap hari Kamis. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya penting untuk menjaga eksistensi budaya Jawa yang mulai tergerus zaman.
Menurut Puji Karyanto SS MHum, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR) kebijakan tersebut merupakan langkah rekayasa budaya yang positif.
“Pada dasarnya eksistensi sebuah kebudayaan bisa melalui dua jalur. Yaitu jalur alamiah karena ada hubungan memiliki antara budaya dan masyarakatnya, serta jalur rekayasa seperti yang dilakukan dinas dengan mewajibkan penggunaan bahasa Jawa,” jelasnya, Rabu (9/7).
Ia menambahkan bahwa saat ini penggunaan bahasa Jawa cenderung menurun, terutama di kalangan generasi Z. “Indikatornya sederhana, misalnya nilai mata pelajaran bahasa Jawa seringkali lebih rendah dibanding bahasa Inggris. Artinya, penggunaan bahasa Jawa belum diterima secara baik dalam kehidupan keseharian mereka,” terangnya.
Efektivitas dan Tantangan Kebijakan
Terkait efektivitas kebijakan ini dalam menumbuhkan rasa bangga berbahasa Jawa, Puji Karyanto menilai hal tersebut akan diuji oleh kepatuhan implementasinya. Namun, kebijakan ini tetap menjadi bagian dari rekayasa budaya agar bahasa daerah tidak punah.
“Surabaya dalam peta kebudayaan Jawa tergolong pinggiran. Bukan pusat budaya Jawa. Maka pengenalan budaya Jawa mainstream tetap diperlukan,” ujarnya.
Ia juga menekankan tantangan pelaksanaan kebijakan ini, terutama di sekolah dengan latar belakang bahasa ibu siswa yang beragam. Menurutnya, semua pihak harus terlibat, tidak hanya guru bahasa Jawa.
“Kalau semua pemangku kepentingan aware, maka kendala seperti perbedaan dialek Jawa Surabaya dengan Jawa Mataraman bisa diatasi bersama,” jelasnya.
Pentingnya Integrasi dan Inovasi
Lebih lanjut, Puji berpendapat bahwa penggunaan bahasa Jawa di sekolah perlu diimbangi dengan pembelajaran budaya Jawa lainnya seperti kesenian atau sastra Jawa. “Belajar tembang macapat misalnya, akan menumbuhkan kegembiraan sekaligus mengenalkan sastra Jawa yang puitis dan berbeda dengan bahasa keseharian,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa bahasa Jawa sarat nilai rasa dan unggah-ungguh. “Bahasa Jawa itu penuh perasaan. Misalnya kata ‘jatuh’ dalam bahasa Indonesia hanya satu, sedangkan dalam bahasa Jawa ada gelungup, kejengkang, dan sebagainya. Ini mengajarkan nilai rasa kepada penuturnya,” tuturnya.
Puji berharap kebijakan ini dijalankan secara konsisten dan tidak sporadis. “Kebijakan seperti ini harus berkelanjutan dan diukur keberhasilannya.
“Jika kurang berhasil, harus dicari terobosannya. Selain itu, perlu inovasi-inovasi agar sosialisasi bahasa Jawa ke generasi Z tidak hanya sebatas pedagogi. Tetapi juga dalam percakapan sehari-hari,” pungkasnya.
Editor: Lilicya