Research Group UNS Gelar Pelatihan Human-Machine Communication

Sebanyak 40 mahasiswa dari berbagai jurusan di Universitas Muhammadiyah Ponorogo mengikuti kegiatan pelatihan bertajuk “Peningkatan Kompetensi Komunikasi dalam Human-Machine Communication (HMC)”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Research Group Media, Khalayak, dan Sistem Sosial Budaya, Universitas Sebelas Maret, dan bertempat di Ruang Aula Dome, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Pelatihan menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Rifqi Abdul Aziz, dosen Telkom University Bandung yang merupakan peneliti bidang Human-Machine Communication, serta Oki Cahyo Nugroho, dosen Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang selama ini fokus pada riset komunikasi digital dan etika teknologi dalam konteks pendidikan tinggi.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Eka Nada Shofa Alkhajar,  Ketua Research Group Media, Khalayak, dan Sistem Sosial Budaya. Dalam sambutannya, Eka menyampaikan pentingnya pelatihan ini sebagai bagian dari komitmen kelompok riset untuk menjembatani mahasiswa lintas jurusan dengan perkembangan teknologi komunikasi mutakhir. “Kami ingin memastikan bahwa generasi muda, khususnya mahasiswa dari berbagai latar belakang ilmu, memiliki pemahaman yang kritis dan tangguh dalam menghadapi era di mana mesin mulai mengambil peran sebagai aktor komunikasi. Pelatihan ini tidak hanya membahas sisi teknologinya, tetapi juga sisi manusianya,” ujar Eka dalam siaran pers, Sabtu (12/7).

Dalam pemaparan materi, Oki Cahyo Nugroho menyoroti bahwa mahasiswa saat ini tengah berada di persimpangan antara pemanfaatan teknologi dan hilangnya kepekaan dalam komunikasi antarmanusia. Ia menjelaskan bahwa meskipun kecerdasan buatan semakin canggih, mahasiswa tetap harus mengembangkan kepekaan etis dan tanggung jawab sosial dalam menggunakan AI untuk aktivitas akademik maupun interaksi profesional. Menurutnya, banyak mahasiswa yang memanfaatkan AI seperti chatbot dan aplikasi penulisan otomatis tanpa memahami potensi bias algoritmik dan konsekuensi dari ketergantungan digital yang berlebihan. Hal ini bisa mengakibatkan menurunnya kemampuan komunikasi interpersonal, melemahnya kemampuan berpikir kritis, serta munculnya risiko plagiarisme yang tidak disadari.

Baca Juga:  Gubernur Jatim Resmikan Plaza Airlangga

Senada dengan itu, Rifqi Abdul Aziz mengajak mahasiswa untuk memahami konsep Human-Machine Communication bukan hanya sebagai tren teknologi, melainkan sebagai proses komunikasi yang juga harus dimaknai secara etis dan reflektif. Ia menekankan bahwa AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti, dalam membangun relasi sosial dan penyampaian pesan yang bermakna. Dalam materinya, Rifqi memaparkan bagaimana AI seperti chatbot, virtual assistant, dan sistem NLP telah digunakan dalam banyak sektor, dari layanan pelanggan hingga pendidikan, namun belum mampu menandingi kompleksitas komunikasi manusia yang sarat emosi, empati, dan konteks budaya.

Pelatihan ini berlangsung selama satu hari penuh dan dikemas dalam berbagai sesi edukatif dan praktikal. Sesi awal memperkenalkan konsep dasar Human-Machine Communication, termasuk cara kerja algoritma dalam memahami bahasa manusia, pola komunikasi digital di dunia profesional, dan studi kasus penerapan AI dalam sektor industri dan pendidikan. Mahasiswa diajak untuk mengkaji bagaimana perusahaan menggunakan AI dalam komunikasi bisnis, serta dampaknya terhadap personalisasi pesan dan pengalaman pengguna.

Sesi berikutnya adalah simulasi interaktif, di mana mahasiswa berinteraksi langsung dengan berbagai aplikasi berbasis AI seperti chatbot akademik dan asisten virtual. Dalam sesi ini, peserta mengevaluasi perbedaan antara respons mesin dan manusia dalam percakapan, termasuk sejauh mana mesin dapat mengenali konteks dan menanggapi dengan relevan secara emosional. Sebagian besar peserta mengakui bahwa meskipun AI mampu memberikan jawaban cepat dan informatif, namun kehilangan sisi kemanusiaan seperti empati dan intonasi emosional. Diskusi kelompok dilakukan untuk menganalisis hasil interaksi tersebut, serta mengidentifikasi keterbatasan komunikasi berbasis mesin.
Setelah simulasi, mahasiswa mengikuti sesi penguatan keterampilan komunikasi interpersonal yang tidak dapat digantikan oleh AI. Mereka berlatih public speaking, storytelling, serta strategi komunikasi persuasif dan negosiasi melalui pendekatan role-playing dan debat kelompok. Rifqi Abdul Aziz memfasilitasi sesi ini dengan menekankan pentingnya mempertahankan keunikan manusia dalam berkomunikasi. Ia menyampaikan bahwa dalam dunia yang semakin otomatis, kualitas seperti empati, intuisi, dan kemampuan menyusun narasi yang menyentuh tetap menjadi keunggulan manusia yang tidak bisa disubstitusi oleh teknologi.

Baca Juga:  Unusa Siap Jadi Pelopor BNCT, Terobosan Baru Terapi Kanker di Indonesia

Kegiatan ditutup dengan sesi refleksi dan evaluasi. Mahasiswa diminta menuliskan pandangan mereka terhadap peran teknologi dalam kehidupan akademik dan sosial, serta membuat rencana penggunaan AI secara bijak dan bertanggung jawab. Hasil pre-test dan post-test menunjukkan peningkatan signifikan dalam pemahaman peserta terhadap konsep HMC, etika digital, serta kemampuan komunikasi interpersonal. Dari umpan balik peserta, mayoritas merasa pelatihan ini relevan dengan kebutuhan zaman dan membantu mereka menjadi lebih siap menghadapi tantangan komunikasi di era kecerdasan buatan.

Beberapa peserta dari jurusan non-komunikasi seperti teknik dan keperawatan bahkan menyampaikan bahwa pelatihan ini membuka perspektif baru mengenai pentingnya memahami komunikasi tidak hanya dari sisi teknologi, tetapi juga dari aspek sosial dan moral. Mereka mengaku lebih siap untuk menggunakan AI sebagai alat bantu reflektif dalam menyusun laporan, berkomunikasi dengan klien, maupun menyampaikan informasi yang bersifat edukatif dan profesional.

Baca Juga:  Unesa Gelar Majelis Senat Akademik PTNBH Bahas Sinkronisasi PMB

Kegiatan ini juga dirancang untuk berkelanjutan. Tim pengabdian masyarakat telah menyusun rencana tindak lanjut berupa survei dampak jangka panjang yang akan dilaksanakan 1 hingga 3 bulan setelah pelatihan. Selain itu, akan dibentuk komunitas reflektif bagi peserta yang ingin mendalami isu Human-Machine Communication secara berkelanjutan. Komunitas ini akan difasilitasi oleh tim Research Group Media, Khalayak, dan Sistem Sosial Budaya, dengan harapan menjadi forum pembelajaran interdisipliner yang membahas perkembangan teknologi dan praktik komunikasi etis di masa depan.

Sebagai bentuk apresiasi, seluruh peserta menerima sertifikat pelatihan dan akses lanjutan ke modul pembelajaran berbasis kasus yang dikembangkan oleh tim. Dengan pelatihan ini, diharapkan mahasiswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang cakap, tetapi juga komunikator yang memiliki kepekaan sosial, etika digital, dan daya pikir kritis dalam menghadapi dunia yang semakin terdigitalisasi.

Eka Nada Shofa Alkhajar menutup kegiatan dengan harapan besar bahwa hasil pelatihan ini tidak berhenti sebagai pengetahuan konseptual, tetapi benar-benar diterapkan dalam kehidupan akademik, organisasi mahasiswa, hingga praktik profesional di masa mendatang. “Kami percaya bahwa teknologi hanyalah alat. Yang membedakan adalah bagaimana manusia memaknainya, mengendalikannya, dan menggunakannya untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan,” pungkasnya.

Editor: Lilicya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *