Guru dari Papua ini Dalami Nilai-nilai Aswaja di Unusa

Senyumnya ramah, sorot matanya teduh, dan tutur katanya lembut. Itulah kesan pertama saat bertemu dengan Yustina Gemilang, S.Pd., Gr. seorang pendidik muda yang baru saja dilantik sebagai guru profesional melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Kamis (21/09). Perjalanan hidupnya penuh warna dari pengalaman mengajar di Papua, hingga menemukan panggilan hidup sebagai guru yang mengajar dengan hati.

Lahir di Surabaya, 7 Juni 1998, Gemilang sejak awal sudah tertarik pada dunia pendidikan. Namun, titik balik hidupnya justru hadir ketika ia mengajar anak-anak di pedalaman Papua. “Saya merasakan ilmu dan keterampilan saya belum cukup untuk menjawab kebutuhan anak-anak, khususnya mereka yang tinggal di pedalaman dengan segala keterbatasan,” kenang perempuan yang pernah mengajar di SD YAPELIN Ob Anggen Dogobak, Kabupaten Mamberamo Tengah, Provinsi Papua Pegunungan ini.

Dari pengalaman itu, tumbuh tekad kuat dalam dirinya: ia ingin terus belajar agar bisa melayani anak-anak dengan lebih maksimal.

Sesampainya di Surabaya, setelah mengajar di Pedalaman Papua, kesempatan emas datang. Dekan di kampus tempatnya bernaung menawarkan untuk mengikuti program Pra Jabatan PPG di Unusa.

Baca Juga:  UNAIR Kukuhkan 841 Wisudawan

“Saya melihat ini sebagai jawaban Tuhan sekaligus peluang berharga untuk melengkapi diri sebagai guru. Setelah melewati serangkaian tes, akhirnya saya dinyatakan lolos,” ujar putri almarhum bapak Julius Warso Prapto Atmojo dan almarhumah ibu Titin Jamiah.

Lebih dari Sekadar Pengajar

Bagi Gemilang, motivasi terbesar menjadi guru bukan hanya soal mentransfer pengetahuan. Lebih dari itu, ia ingin setiap anak merasakan kasih yang mampu mengubahkan hidup mereka. “Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembawa nilai dan teladan. Saya ingin anak-anak yang saya didik kelak tumbuh berintegritas dan berkarakter,” tutur anak kedua dari 3 bersaudara tersebut.

Yang membuat kisahnya semakin menarik, Gemilang adalah seorang non-muslim. Namun, selama menempuh pendidikan di Unusa, ia justru menemukan kedalaman nilai-nilai Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) yang diajarkan di kampus Unusa. Awalnya ia menganggapnya sekadar kewajiban akademis, tetapi semakin dipelajari, semakin ia menemukan relevansinya dengan kehidupan sehari-hari.
“Nilai tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), toleransi, dan keadilan ternyata sangat penting untuk hidup berdampingan dalam keberagaman,” jelasnya.

Baca Juga:  FK Unusa Terima Program Internship Spesialis dari Malaysia

Bagi Gemilang, nilai-nilai Aswaja menjadi fondasi dalam menghadirkan suasana kelas yang inklusif. “Saya belajar melihat perbedaan bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai kekayaan yang harus dipelihara,” tambahnya.

Perjalanan menuju pelantikan sebagai guru profesional tidak mudah. Tantangan terbesar Gemilang adalah membagi waktu antara kuliah, tugas, dan aktivitas lain. Penempatan magang yang cukup jauh membuatnya harus bangun pagi, menempuh perjalanan dengan kereta, sekaligus belajar mengatur keuangan.

“Saya belajar disiplin, membuat prioritas, dan menjaga semangat bahwa setiap perjuangan ini akan berdampak besar bagi masa depan saya maupun anak-anak yang akan saya layani,” ungkapnya.

Dalam berinteraksi dengan teman, dosen, maupun lingkungan kampus, ia selalu berpegang pada prinsip sederhana: memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan. Prinsip itu membentuk sikapnya yang toleran, sabar, dan terbuka terhadap perbedaan.

Dalam perjalanan akademiknya, Gemilang banyak terinspirasi dari sosok Mrs. Magdalena, Dekan FKIP Universitas Kristen Petra. “Beliau sosok yang penuh kasih dan peduli pada mahasiswa. Dari beliau saya belajar bahwa kepemimpinan sejati lahir dari hati yang tulus,” katanya.

Baca Juga:  Menkraf Kunjungi Unusa, Kagum Inovasi Incinerator

Kini, setelah resmi dilantik sebagai guru profesional, perasaan haru dan syukur menyelimuti dirinya. “Momen ini adalah bukti perjalanan panjang penuh doa dan perjuangan. Saya merasa siap memasuki babak baru sebagai guru yang mengajar dengan hati,” ucapnya dengan senyum hangat.

Bagi Gemilang, pesan sederhana untuk generasi muda yang bercita-cita menjadi guru adalah agar tidak pernah melupakan esensi mendidik. “Setiap anak adalah pribadi yang berharga. Mengajar bukan hanya soal materi, melainkan tentang menyentuh hati. Benih yang kita tanam mungkin tidak langsung terlihat hasilnya, tetapi suatu saat kita akan melihat anak-anak tumbuh menjadi generasi emas bangsa,” pesannya.

Gemilang adalah contoh nyata bahwa seorang guru bukan hanya hadir untuk mengajar, melainkan juga untuk mengasihi, mendampingi, dan menumbuhkan nilai kehidupan pada setiap anak. Dari Papua hingga Surabaya, kisahnya menjadi pengingat bahwa pendidikan sejatinya adalah perjalanan hati.

Editor: Lilicya 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *