Cinta Sakinah 2.0: Negara dan Generasi dalam Perebutan Makna

Diantara denting notifikasi, cinta kini hadir dalam bentuk reels romantic, lamaran sinematik, dan kampanye moral berformat jingle. Begitulah kira-kira wajah cinta di era digital, beradu dalam layar, antara doa dan algoritma.

Saat Kementrian Agama memperkenalkan kampanye Tepuk Sakinah, niatnya sederhana namun simboliknya besar. Nilai sakinah, mawaddah, warohmah ingin ditanamkan pada generasi muda melalui cara ringan dan menyenangkan. Sosial media ramai dengan berbagai video yang menyanyikan jingle tersebut dan menepuk tangan mereka meneriakkan kalimat sakinah dengan gaya masing-masing, baik yang mendukung, menyindir, atau memparodikan.

Tentu bagi generasi muda pesan moral dalam bentuk tepuk tangan tersebut terasa janggal ditengah budaya digital yang cair, ekspresif, dan penuh ironi. Dunia digital telah mengubah cara pandang kita memahami cinta, keluarga, dan moralitas. Negara dan generasi muda sedang bernegosiasi dalam perebutan makna antara cinta sakinah dan cinta digital.

Ketika Nilai Bertemu Algoritma

Tepuk Sakinah yang belakangan ramai muncul di linimasa adalah bentuk dakwah kreatif dengan membawa pesan agama ke ranah populer agar lebih mudah diterima kalangan muda. Tapi di media sosial pesan religius tak lagi berdiri di ruang sunyi ketika harus bersaing dengan algoritma, tren, dan humor digital. Stig Hjarvard menyebut ini sebagai Mediatization of Religion, yaitu proses ketika agama menyesuaikan diri dengan logika media.

Dan sejalan dengan digitalisasi nilai-nilai spiritual disampaikan dengan lebih catchy, dengan jingle, tepukan, reels, hashtag. Agama kini tidak hanya hadir di mimbar, tapi juga di timeline. Tapi adakalanya logika media tidak selalu sejalan dengan logika moral. Sistem algoritma membuat pesan lucu seringkali lebih viral ketimbang yang mendalam. Hingga bisa jadi nilai sakinah kehilangan bobot makna, tereduksi menjadi sekedar tren yang lewat saja di beranda.

Baca Juga:  Di FORTEI Unesa, Mendiktisaintek Minta Kampus dan Industri Dongkrak Ekonomi Nasional

Generasi muda kita tumbuh dalam dinamika budaya dimana cinta tidak sekedar dirasakan tapi juga dipertontonkan. Lamaran sinematik, pernikahan megah disiarkan langsung, hingga kisah cinta dan romantisme yang bersifat performative. Guy Debord dalam Society of The Spectacle menyebut masyarakat modern hidup dalam masyarakat tontonan, yakni ketika realitas digantikan oleh representasi.

Cinta tidak hanya dialami namun juga dikurasi dan dipamerkan agar layak dipertontonkan. Cinta sakinah yang digambarkan tenang spiritual seolah kehilangan daya tarik visual, kalah glamour dibanding cinta yang tampil di media sosial. Namun di lain sisi, generasi muda pun banyak yang mengkritik narasi cinta konsumtif dan mulai menuntut hubungan yang lebih sehat, setara, dan mindful. Karenanya munculah cinta digital versi baru ; cinta mencari makna bukan penampilan.

Pertarungan Wacana Moral dan Ekspresi

Tepuk Sakinah adalah upaya negara untuk memulihkan nilai moral dalam budaya muda yang bebas, bahwa jingle itu adalah janji dan solusi dalam atribut pernikahan. Tapi dalam pandangan Stuart Hall, budaya populer bukanlah ruang kosong yang bisa diisi secara sepihak, tapi adalah arena pertarungan makna antara dominasi dan resistensi.

Baca Juga:  Unesa Gelar Wayang Kulit

Ketika negara menggunakan media untuk mengajarkan moralitas, generasi muda menafsirkan ulang pesan itu melalui kreativitas, parodi, atau interpretasi. Ketika mereka sedang menertawakan dan mengubah Tepuk Sakinah menjadi meme, sebetulnya mereka sedang menunjukkan bentuk negosiasi simbolik. Pesan itu diterima oleh mereka, tapi mereka juga punya cara sendiri untuk memaknainya.

Hibriditas Nilai Agama dan Pop Culture

Tepuk Sakinah memperlihatkan bagaimana nilai agama dan budaya pop bisa bersilangan dalam sebuah hibriditas dua sistem makna yang berbeda, spiritualitas dan hiburan. Nilai religius bisa berdampingan dengan gaya pop, melahirkan identitas baru yang lebih cair. Anak muda bisa bertindak religius dan kritis, tapi disaat yang sama mereka tetap bercanda di media sosial.

Realitas budaya kontemporer ini bukan sekedar benturan tapi pertemuan dua dunia yang bernegosiasi terus menerus. Diantara ruang identitas dan makna, disitu cinta sakinah dimaknai ulang, bukan sekedar pernikahan dan kewajiban tapi keseimbangan emosional, kesetaraan, dan kesehatan mental.

Bentuk kontrol atas masyarakat digital saat ini hadir melalui wacana digital. Dalam konsep Foucault, bahwa kekuasaan tidak selalu memaksa tapi bekerja lewat diskursus. Termasuk ketika kita bicara tentang cinta, tubuh, dan pernikahan. Tepuk Sakinah adalah contoh wacana yang mengatur cinta ideal adalah yang stabil, heteroseksual, dan berada dalam pernikahan.

Di lain pihak, generasi muda menunjukkan bentuk ekspresi cinta yang baru melalui seni, media sosial, bahkan gerakan sosial tentang kesetaraan gender dan mentahl health relationship. Dengan begitu nilai moral bukan ditolak, tapi dinegosiasikan agar selaras dengan jati diri mereka.

Baca Juga:  FISIPOL Action Week 2025 Unesa, Luncurkan Inovasi Fitur SIDILAN

Negara Sebagai Influencer, Warga Sebagai Kreator

Ekosistem media baru menjadikan negara bukan lagi sumber tunggal otoritas moral, tapi bertindak sebagai satu influencer diantara sekian banyak yang berlomba menyampaikan pesan. Dalam era network society, masyarakat diatur dalam jaringan bukan hierarki. Kekuasaan yang tersebar membuat pesan dari atas bisa segera ditanggapi, diparodikan, bahkan dikritik secara viral. Itu sebabnya berbicara satu arah kini tidak efektif, karena untuk menjangkau generasi muda perlu bahasa partisipatif bukan paternalistik.

Daripada sekedar menyuruh bertepuk tangan, mengapa tidak mengajak mereka untuk bercerita tentang cinta sakinah menurut versi mereka sendiri? Misalnya lewat podcast, digital art, vlog, atau story yang membuka ruang dialog. Karena nilai-nilai tidak lagi satu arah ditransfer dari atas, tapi di negosiasikan bersama di ruang digital yang egaliter.

Cinta sakinah berbicara tentang kedamaian, komitmen, dan saling menghargai. Sebuah nilai yang tetap relevan di era apapun. Tapi cara kita mengkomunikasinnya yang harus berubah. Generasi digital mencari cinta yang sehat, bukan hanya sakral. Cinta yang tumbuh dari kesetaraan, bukan dari tuntutan sosial. Maka tugas negara dan lembaga keagamaan bukan memaksa, melainkan mendampingi dan membuka ruang tafsir makna baru tanpa kehilangan nilai aslinya.

Tentang Penulis: Puspita Sukardani adalah Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga dan Dosen Ilmu Komunikasi UNESA

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *