Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia, Nugroho Joko Prastowo menegaskan pentingnya Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Ada tiga pilar dalam pelaksanaan kebijakan ini. Pertama mendorong fungsi intermediasi seperti pembiayaan kredit, menjaga ketahanan sistem keuangan agar terhindar dari krisis, serta mendorong finansial inklusi dan hijau.
“Kebijakan makroprudensial yang baru dikenal dan dikembangkan sebagai pelajaran dari krisis keuangan global pada 2008 hingga 2009 tersebut, menjembatani kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial,” ungkapnya, Jumat (28/7).
Menurut Nugroho, krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 menjadi salah satu penyebab munculnya kebijakan makroprudensial di Indonesia.
”Jika krisis-krisis yang terjadi sebelumnya selalu didahului krisis yang sifatnya makro seperti krisis utang, krisis keuangan, dan krisis nilai tukar, maka saat krisis 2008 lebih bersifat mikro ekonomi,” tambahnya.
Nugroho menjelaskan, kondisi tersebut memerlukan suatu kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Sebab, meskipun indikator makro di level baik, sistem keuangan sedang tidak sehat.
Sistem keuangan yang tidak sehat ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak bergerak, karena bank tidak berkenan memberikan kredit sehingga aktivitas ekonomi terhambat.
“Saat itu, kalau bank tidak mau memberikan kredit, maka pembiayaan ekonomi terhambat walaupun inflasi dan nilai tukar stabil, tapi institusi keuangan tidak sehat. Otomatis aktivitas ekonomi terhambat. Ini pelajaran krisis keuangan global,” jelasnya.
Nugroho mengakui, krisis tersebut yang pada akhirnya memberi pelajaran bahwa perlu sebuah kebijakan yang mampu menjembatani kebijakan moneter dengan kebijakan mikro yakni melalui kebijakan makroprudensial.
”Salah satu yang paling sering dikeluarkan untuk instrumen kebijakan makroprudensial adalah mengenai down payment (DP) dalam rangka mendorong kredit,” terangnya.
Seperti saat Covid-19, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan makroprudensial, yakni menurunkan batas uang muka (DP) untuk pembiayaan semua kendaraan bermotor baru menjadi nol persen dalam rangka mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif.
”Selain itu, Bank Indonesia juga mengubah ketentuan rasio uang muka kredit rumah (Loan to Value/LTV) kredit dan pembiayaan properti dari semula 85 persen hingga 90 persen menjadi 100 persen, sehingga pembelian rumah bebas DP,” pungkasnya.
Penulis: Erbe. Editor: Maulidcya