Tradisi Muludan di Indonesia Wujud Akulturasi Budaya

Tradisi muludan atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan warisan budaya Islam yang masih terjaga. Peringatan tersebut jatuh setiap 12 Rabiul Awwal dalam kalender Hijriah. Secara bahasa, maulid berarti hari kelahiran, sedangkan maulud merujuk pada sosok yang dilahirkan yakni Nabi Muhammad SAW. Namun, di Indonesia terutama masyarakat jawa sering menyebutkannya dengan istilah muludan.

Ahmad Syauqi SHum MSi, Akademisi Sastra dan Budaya Islam Universitas Airlangga (UNAIR) mengungkapkan bahwa tradisi muludan merupakan hasil dari akulturasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal. Tradisi ini berkembang sejak era Walisongo di Nusantara.

Baca Juga:  PCNU Surabaya dan Tokoh Agama Sikapi Situasi Kisruh Demo

Makna  Religius dan Filosofis

Syauqi menjelaskan bahwa tradisi muludan mempunyai makna religius sebagai perwujudan keimanan dan kecintaan kepada Rasulullah. Sebab, Rasulullah merupakan figur teladan yang senantiasa membawa kasih sayang bagi alam semesta.

Selain itu, muludan juga mengandung nilai filosofis yang mencerminkan solidaritas sosial, gotong royong, sekaligus media dakwah melalui simbol-simbol budaya. Beberapa contoh di antaranya seperti endog-endogan di Banyuwangi, Kirab Ampyang di Kudus.

“Ini merupakan wujud syukur. Bahwasanya tradisi muludan pastinya berbeda beda di setiap daerah namun pada dasarnya merujuk pada syukur atas bahagianya kelahiran Rasulullah,” ungkapnya.

Baca Juga:  Kemensos Salurkan Bantuan ke Korban Gempa Poso

Menurutnya, tradisi ini juga mengandung nilai pendidikan karakter untuk meneladani meneladani sifat-sifat Rasulullah, seperti jujur, dermawan, menepati janji, dan humanis.

Dinamika Modernisasi

Lebih lanjut, Syauqi menyebutkan bahwa tradisi ini masih tetap bertahan meskipun dihadapkan arus modern. Hal ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang berkembang secara pesat. “Kehadiran medsos membawa perubahan yang signifikan, seperti penyebaran yang sangat cepat, bisa melakukan live streaming, merekam momen dan editing video,” ujarnya

Tak hanya itu ia juga menyoroti pergeseran bentuk kegiatan atau ritual yang dikemas secara formal dan sederhana. “Mungkin disamping satu sisi sederhana, tidak ada tradisi yang harus menggunakan simbol-simbol secara saklek. Meskipun ada di beberapa daerah masih mempertahankan itu, namun intinya adalah bisa berkumpul dan memeriahkan,” tuturnya.

Baca Juga:  LDII Jatim Ajak Ormas Redam Gejolak Sosial Jaga Kondusivitas

Kendati demikian, Syauqi menekankan pentingnya peran pendidikan dan komunitas dalam menjaga keberlanjutan tradisi. “Pada dasarnya, tradisi maulid ini dijadikan wasilah perantara untuk bagaimana bermuara pada cinta kepada Rasulullah dan beriman kepada ajaran yang dibawanya yaitu ajaran syariat islam,” tutupnya.

Editor: William 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *