Tantangan keterbatasan lahan subur di Indonesia mendorong riset untuk menemukan solusi ketahanan pangan masa depan. Menjawab hal tersebut, Guru Besar ke-225 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Dr Tutik Nurhidayati MSi mengembangkan penelitian mengenai fisiologi tumbuhan, khususnya adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik di lahan suboptimal.
Profesor dari Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS ini menekankan bahwa tumbuhan memiliki peran vital sebagai penyedia energi utama bagi kehidupan di bumi. Menurutnya, pemahaman mekanisme fisiologis tumbuhan sangat penting agar tanaman tetap produktif di tengah perubahan iklim. “Karena sifatnya sesil atau tidak bisa bergerak, tumbuhan harus beradaptasi dengan kondisi ekstrem seperti kekeringan, salinitas, maupun genangan,” paparnya, Selasa (26/8).
Dalam penelitiannya, Tutik menemukan gen-gen penting yang membantu tanaman bertahan di kondisi ekstrem. Pada porang, gen yang mengatur pembentukan gula dan dinding sel berperan dalam menghadapi kekeringan dan salinitas. Sementara pada tembakau, gen yang mengatur metabolisme dan hormon stres membantu tanaman tetap hidup saat tergenang air. “Setiap spesies punya cara berbeda untuk beradaptasi, bahkan satu gen saja bisa menjadi temuan baru,” jelasnya.
Selain itu, Tutik juga memanfaatkan teknologi pendukung seperti aplikasi mikoriza, rhizobakteria, hingga teknik kultur jaringan. Dengan pendekatan tersebut, tanaman dapat bertahan sekaligus meningkatkan produktivitas meski ditanam di lahan marginal. Sebagai contoh, kultur jaringan porang yang dikembangkan mampu menyediakan bibit unggul bebas penyakit sepanjang tahun, sehingga pasokan bahan pangan tidak lagi bergantung pada musim.
Lebih jauh, riset ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional. Dengan memanfaatkan lahan suboptimal yang sebelumnya tidak produktif, ketersediaan sumber pangan bisa meningkat. “Melalui fisiologi tumbuhan, kita dapat menciptakan bibit unggul dan memperbaiki lahan dengan bantuan mikroorganisme, sehingga produksi tanaman tetap optimal,” ungkap perempuan kelahiran Magetan, 10 September 1972 ini.
Tak hanya di bidang biologi, Tutik juga menggandeng kolaborasi lintas disiplin. Bersama peneliti bidang ilmu kimia dan teknik kimia, ia mengembangkan porang menjadi tepung dan beras glukomanan sekaligus mengurangi kandungan oksalatnya. Kolaborasi ini memperluas manfaat riset hingga ke industri pangan dan kesehatan.
Terakhir, ibu dua anak ini menegaskan bahwa penelitian ini turut mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-2 tentang ketahanan pangan. Menurutnya, fisiologi tumbuhan bukan sekadar teori, tetapi kunci untuk menciptakan varietas unggul yang mampu bertahan di kondisi ekstrem. “Dengan fisiologi tumbuhan, kita bisa menjaga ketersediaan pangan sekaligus menyelamatkan bumi dari ancaman krisis lingkungan,” pungkasnya.
Editor: William