Perjalanan Maria Goreti Laura Saina, mahasiswi baru Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) tahun 2025, membuktikan bahwa tekad dan doa orang tua mampu mengantarkan anak pada pendidikan tinggi. Gadis asal Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, ini resmi diterima di Program Studi Gizi Unusa melalui beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK).
Lala, sapaan akrabnya, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang petani yang sesekali bekerja serabutan membantu warga membangun rumah, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Dengan penghasilan tak lebih dari Rp500.000,00 per bulan, orang tua Lala tetap berjuang keras agar anak-anak mereka bisa bersekolah.
Kini, ia bersyukur bisa diterima di Unusa dengan beasiswa KIPK. “Motivasi terbesar saya adalah bapak dan mamak. Mereka dari keluarga kurang mampu, bahkan hanya lulusan SD, tapi mereka nggak nyerah untuk pendidikan anak-anaknya. Termasuk menyekolahkan saya biar bisa jadi sarjana pertama di keluarga,” ujarnya, Senin (8/9).
Sejak SMP hingga SMA, Lala bersekolah di Labuan Bajo dan harus tinggal bersama saudara karena jarak dari rumah cukup jauh. Setiap hari ia menempuh perjalanan kaki sekitar 30 menit menuju sekolah. Keputusan bersekolah di Labuan Bajo diambil karena biaya pendidikan lebih terjangkau bagi kondisi ekonomi keluarganya.
“Waktu SMP dan SMA, saya sekolah di Bajo, ikut tinggal dengan saudara. Kalau berangkat ya jalan kaki, karena jaraknya cukup jauh, kalau jalan sekitar 30 menit,” pungkasnya.
Diceritakannya, sejak kecil, Lala pernah bercita-cita menjadi dokter. Namun, memasuki jenjang SMP, ia mulai realistis melihat kondisi ekonomi keluarga. Keinginannya pun beralih menjadi apoteker. Sayangnya, saat mencoba jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) pada kelas 3 SMA, ia tidak diterima. Sempat putus asa, Lala akhirnya mencari informasi beasiswa kuliah. “Dulu pengennya jadi dokter, lalu saya berubah pikiran. Terus saat SMA, puji tuhan saya dapat kesempatan untuk mendaftar SNBP, tapi ternyata tidak diterima juga, dah sempat menyerah,” ujarnya.
Kabar dari kakaknya membuat Lala menyadari bahwa biaya kuliah farmasi cukup tinggi. Saat itulah ia menemukan informasi tentang Unusa. Meski sempat ragu karena kampus ini mayoritas mahasiswanya muslim, Lala memberanikan diri mendaftar dengan beasiswa KIPK. Bahkan sempat ada cibiran dari orang sekitar yang meremehkan pilihannya, namun Lala tidak mundur.
“Beberapa orang yang tahu saya mendaftar di Unusa sempat bilang kalau tidak akan diterima kan di sana banyak yang muslim. Tapi itu semua akhirnya membuktikan saya bisa jadi mahasiswa di Unusa,” cerita Lala.
Perjalanan masuk Unusa pun penuh lika-liku. Lala awalnya mencoba mendaftar ke jurusan keperawatan dan kebidanan, tetapi tidak memenuhi persyaratan tinggi badan. Ia kemudian disarankan memilih program studi Analis Kesehatan atau Gizi. Atas arahan kedua orang tuanya, Lala akhirnya memilih Gizi meski sempat merasa kecewa karena tidak sesuai harapan awal.
“Ya sempat sedih karena tidak sesuai apa yang diinginkan, awalnya dokter, lalu apoteker, lalu daftar di bidan dan perawat juga ditolak. Akhirnya Bapak saya menyarankan di Gizi, dan akhirnya bisa keterima di Unusa dengan KIPK,” kenang Lala penuh haru.
Bagi Lala, keluarga adalah alasan utama untuk terus berjuang. Dengan tekad kuat dan doa, ia yakin bisa menyelesaikan studi dan mewujudkan harapan menjadi kebanggaan orang tua di kampung halamannya.
“Tetap semangat, gunakan bantuan yang diterima sebaik mungkin untuk meraih cita-cita, entah itu dari orang tua juga, karena kita tidak tahu bagaimana orang tua kita berjuang untuk pendidikan kita,” tegasnya.
Editor: William