Hari TB Sedunia, Unair Kampanye GIATKAN! Gerakan Indonesia Akhiri Tuberkulosis

Dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis (TB) Sedunia 2025 yang diperingati setiap tanggal 24 Maret, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, khususnya Research Group Tobacco Control menggelar Media Conference dengan tema “GIATKAN! Gerakan Indonesia Akhiri Tuberkulosis” pada Senin (24/3) di Aula Sabdoadi, FKM Kampus C Unair.

Kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran global tentang dampak buruk penyakit ini dan mendorong upaya pengendalian yang lebih kuat di seluruh dunia. Acara ini menghadirkan narasumber terkemuka di bidang kesehatan. Yakni Wiwin IS Effendi, dr., Sp.P(K), Ph.D, FAPSR (Dokter Spesialis Paru). Kemudian Prof. Dr. dr. Santi Martini, M.Kes (Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga).

Dokter Wiwin menyatakan, Indonesia masih menjadi negara dengan beban TB Tinggi. “Berdasarkan Global TB Report 2024, Indonesia menempati posisi kedua dunia dalam beban kasus TBC, setelah India. Diperkirakan terdapat 1.090.000 kasus TBC dengan angka kematian mencapai 125.000 per tahun—setara dengan 14 kematian setiap jamnya,” ucapnya.

Baca Juga:  KBTK Al Falah Gelar Pentas Ajang Kreasi 2025

Hal ini, kata Wiwin, menunjukkan bahwa TBC masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang harus segera diatasi.
Dipaparkan bahwa data Riskesdas 2018 mengungkap bahwa prevalensi TB Paru berdasarkan diagnosis dokter tetap stagnan di 0,4%, sementara prevalensi pneumonia meningkat dari 1,6% menjadi 2%.
“Jawa Timur sendiri mengalami lonjakan kasus yang signifikan, dari 53.289 kasus pada 2021 menjadi 81.753 kasus pada 2022, menjadikannya provinsi dengan jumlah kasus TBC terbanyak kedua setelah Jawa Barat,” ucapnya.

Baca Juga:  Unesa Gelar Majelis Senat Akademik PTNBH Bahas Sinkronisasi PMB

Pada tahun 2024, Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menunjukkan cakupan penemuan kasus TBC di Jawa Timur baru mencapai 61,10% dari estimasi total kasus sebesar 116.752.

Merokok sebagai Faktor Risiko TB

Dekan FKM UNAIR, Prof. Dr. dr. Santi Martini, M.Kes, menyoroti bahwa merokok merupakan faktor risiko kedua tertinggi untuk TBC di Indonesia setelah malnutrisi. Perokok memiliki risiko 73% lebih tinggi untuk terinfeksi TBC dan berpotensi lebih dari dua kali lipat mengembangkan TBC aktif dibandingkan dengan individu yang tidak merokok.

“Tanpa adanya intervensi yang kuat, TBC akan terus menjadi beban kesehatan yang besar bagi Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan gerakan nasional yang masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempercepat eliminasi TBC di Indonesia,” tuturnya.

Baca Juga:  Spemma Gelar Fortasi 2025, Tekankan Penerapan Tata Krama

Arah Kebijakan dan Upaya Pengendalian TBC
Dalam forum ini, para narasumber juga menegaskan pentingnya strategi pengendalian TBC melalui peningkatan deteksi dini, akses pengobatan yang lebih luas, serta kebijakan yang mendukung lingkungan bebas rokok. Kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam menekan angka kasus TBC di Indonesia.

Dengan adanya kampanye “GIATKAN! Gerakan Indonesia Akhiri Tuberkulosis,” diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya pencegahan dan pengobatan dini, sehingga Indonesia dapat mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030.

Penulis: Erbe Bagus
Editor: Lilicya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *