Dari Simpati ke Accessibility: Sikap Baru Kampus Indonesia di Hari Disabilitas Internasional

Hari Disabilitas Internasional (HDI) setiap tahun hampir selalu dirayakan dengan cara yang sama di banyak kampus di Indonesia: seminar tentang inklusi, lomba kreatif tentang keberagaman, atau unggahan media sosial berwarna biru dengan pesan kepedulian. Semua itu tentu baik, tetapi ada satu pertanyaan yang perlu kita ajukan dengan jujur: apakah kampus benar-benar berubah lebih inklusif dan aksesibel setelahnya?

Pertanyaan ini menggelitik karena kampus selalu membanggakan diri sebagai pusat pencerahan, tetapi sayangnya, dalam isu disabilitas, banyak perguruan tinggi masih tertinggal. Sering kali kampus lebih siap menggelar seminar tentang inklusivitas daripada memperbaiki satu ramp yang kemiringannya terlalu curam. Lebih siap membuat poster “peduli difabel” daripada menyediakan materi kuliah digital yang bisa dibaca pembaca layar. Inilah kesenjangan besar antara simpati dan aksesibilitas. Dan pendidikan tinggi Indonesia harus berani mengakuinya.

Simpati Tidak Sama dengan Sikap Inklusif

Menurut Susenas 2023, ada sekitar 22,97 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Namun hanya sebagian kecil yang berhasil menembus perguruan tinggi. Banyak yang tertahan bukan oleh kemampuan, tetapi oleh lingkungan pendidikan yang tidak siap menerima mereka. Di kampus, kesulitan mereka sering dianggap masalah personal, padahal penelitian menunjukkan hambatan utama justru bersumber dari lingkungan sosial dan desain sistem.

Dalam psikologi sosial, simpati sering digambarkan sebagai respons emosional jangka pendek: merasa kasihan, ingin membantu, ingin “membuat hidup mereka lebih mudah”. Sayangnya, simpati jarang menghasilkan perubahan struktural. Sikap ini bahkan berpotensi membuat penyandang disabilitas dianggap sebagai pihak yang “lemah” dan membutuhkan perlakuan khusus.

Padahal penyandang disabilitas tidak butuh dikasihani. Yang mereka butuhkan adalah akses yang adil, standar layanan yang jelas, dan kampus yang memahami hak, bukan belas kasih. Sikap (attitude) publik kampus terhadap disabilitas harus bergeser dari “bagaimana kami bisa membantu” menjadi “apa hambatan yang harus kami hilangkan”.

Baca Juga:  39 Ribu Paket Sarapan Bergizi Gratis untuk Mahasiswa Unesa

Infrastruktur Kampus: Dari Gedung ke Gedung, Standarnya Berbeda

Jika kita memperlakukan kampus sebagai “kota mini”, maka jelas bahwa infrastrukturnya belum dirancang untuk keberagaman kemampuan. Beberapa temuan yang kerap muncul dalam survei internal berbagai universitas antara lain: (1) Ramp dibangun tetapi terlalu licin atau terlalu curam, (2) Jalur pemandu tunanetra terputus di tengah jalan oleh stand jualan, (3) Lift rusak dua bulan tanpa prioritas perbaikan, (4) Toilet disabilitas hanya ada satu, bahkan sering dipakai sebagai gudang.

Secara teknis, ini bukan sekadar persoalan fasilitas. Ini adalah persoalan attitude institusi: apakah kampus menganggap aksesibilitas sebagai biaya tambahan, atau sebagai bagian dari standar mutu?

Penelitian internasional menunjukkan korelasi kuat antara akses infrastruktur dan retensi mahasiswa disabilitas. Tanpa mobilitas yang memadai, mereka tidak mampu mengikuti ritme akademik, bukan karena tidak mampu secara intelektual, tetapi karena ruang kampus menghalangi mereka.

Akses Akademik: Ketika Kebaikan Hati Menggantikan Sistem

Hambatan berikutnya adalah akses akademik. Banyak mahasiswa disabilitas harus meminta satu per satu tambahan waktu ujian, materi dalam bentuk digital, atau metode evaluasi yang sesuai. Dosen sering bingung:

“Apakah saya boleh memberi kelonggaran? Apakah ini adil untuk mahasiswa lain?”

Kebingungan ini muncul karena kampus tidak memiliki kebijakan baku tentang akomodasi akademik. Padahal CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) dan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas menekankan bahwa akomodasi adalah hak, bukan kemurahan hati pengajar.
Di negara-negara maju, kampus memiliki unit resmi yang mengeluarkan surat akomodasi akademik,  bukan mahasiswa yang harus bernegosiasi sendiri. Indonesia belum ke sana.

Baca Juga:  Unesa Village Awards (UVA) 2025 Perkuat Ketahanan Pangan Nasional

Masalah berikutnya adalah digital. LMS di banyak kampus tidak memenuhi standar WCAG. Materi kuliah berupa PDF gambar tidak terbaca oleh pembaca layar. Video kuliah tidak memiliki caption. Akibatnya, mahasiswa disabilitas netra dan mahasiswa tuli tidak memiliki akses setara.

Attitude yang perlu dikoreksi adalah: “Akses digital bukan fasilitas tambahan. Ia adalah prasyarat pendidikan modern.” Jika kampus siap berinvestasi pada smart classroom, seharusnya kampus juga berinvestasi pada akses digital yang inklusif.

Budaya Kampus: Stigma Halus yang Tak Terasa

Di luar infrastruktur dan akademik, ada faktor sosial yang tak kalah penting: budaya kampus. Stigma terhadap penyandang disabilitas seringkali bukan berupa penghinaan langsung, tetapi dalam bentuk misalnya overhelping (membantu tanpa bertanya), overprotection (meringankan tugas tanpa alasan akademik), dan narasi inspiratif berlebihan (“meski kondisi begitu, dia tetap semangat belajar!”).

Dalam kajian disabilitas modern, sikap seperti ini disebut inspiration porn yaitu narasi yang tampaknya positif tetapi memposisikan penyandang disabilitas sebagai objek kekaguman murah, bukan individu dengan identitas akademik.
Attitude yang harus dibangun kampus adalah: “Disabilitas bukan tragedi personal. Ia bagian dari keberagaman manusia.”

Arah Perubahan: Kampus sebagai Laboratorium Inklusivitas
Jika kampus ingin membuktikan dirinya sebagai ruang ilmu pengetahuan, perubahan yang diperlukan tidak boleh lagi bersifat kosmetik. Inklusi harus ditopang sistem, bukan retorika.

Baca Juga:  Dies Natalis ke-61, Unesa Targetkan Tembus Peringkat 400 Dunia

Ada lima langkah praktis yang didukung penelitian: (1) Audit aksesibilitas tahunan. Bukan sekadar inspeksi gedung, tetapi evaluasi menyeluruh: fisik, digital, proses belajar, dan budaya, (2) Membentuk unit layanan disabilitas professional. Unit ini bukan untuk seremoni, tetapi sebagai penghubung antara mahasiswa, dosen, dan biro akademik, (3) Panduan dosen tentang akomodasi akademik. Dengan SOP, dosen tidak lagi bingung atau takut “tidak adil”.

Akomodasi menjadi standar, bukan belas kasih, (4) Standar akses digital berbasis WCAG. Di era pembelajaran hybrid, akses digital sama pentingnya dengan ruang kelas, dan (5) Pelibatan penyandang disabilitas dalam perumusan kebijakan. Attitude yang paling esensial adalah: “Tidak ada tentang kami, tanpa kami.” Kampus harus mengundang mereka sebagai co-designer, bukan objek kebijakan.

Saatnya Kampus Menjadi Ruang yang Layak Diduduki Semua Orang
Jika kampus benar adalah tempat tercapainya pencerahan, maka ia harus menjadi ruang yang dapat diduduki oleh siapa pun, secara fisik, digital, dan sosial. Inklusivitas adalah cermin integritas akademik. Bukan karena kita ingin terlihat peduli, tetapi karena pendidikan yang baik menuntut keadilan akses.

Maka di Hari Disabilitas Internasional ini, sudah waktunya kampus Indonesia mengubah attitude: dari simpati menuju aksesibilitas, dari retorika menuju kebijakan, dari belas kasih menuju keadilan. Karena kualitas sebuah perguruan tinggi tidak hanya diukur dari gedung megah atau akreditasi unggul, tetapi dari sejauh mana ia menghargai martabat setiap mahasiswa, tanpa kecuali.

“Selamat Hari Disabilitas Internasional, Semoga Kita Menjadi Pribadi yang Lebih Adil dan Inklusif.”

Ditulis oleh:
Khofidotur Rofiah, Ph.D
Koorprodi S1 Pendidikan Luar Biasa Unesa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *