Program Magister Media dan Komunikasi Universitas Airlangga bersama Delegasi Tetap RI untuk UNESCO menggelar bedah buku “Identitas, Inovasi, dan Intergenerasi” Kamis (14/08).
Buku ini merangkum esai-esai populer tentang strategi pelestarian budaya takbenda Indonesia yang sudah diakui UNESCO. “Pelestarian budaya takbenda tidak bisa ditinggalkan pada nostalgia,” ujar Yuyun WI Surya, Ph.D, Kaprodi Magister Media & Komunikasi FISIP Unair dalam sesi pengantar.
“Ia perlu masa depan, dan masa depan itu, hari ini, berada di tangan anak muda yang hidup di ruang digital.”
Dekan FISIP Unair, Prof Bagong Suyanto, yang membuka acara menegaskan bahwa buku ini menjadi bukti keterlibatan akademisi, dalam hal ini Prodi Magister Media & Komunikasi FISIP Unair berkontribusi sesuai kapasitasnya sebagai institusi akademis.
Saevasilvia, mahasiswa Magister Media dan Komunikasi yang juga menjadi salah satu kontributor buku ini, menyoroti perlunya inovasi dalam mendekati generasi muda. Ia memperkenalkan konsep “robot angklung” sebagai penghubung antara kecintaan pada tradisi dan ketertarikan terhadap teknologi.
“Ini salah satu cara untuk membunyikan kembali memori. Supaya anak-anak yang besar dengan gawai tetap bisa terpikat oleh getaran bambu,” sambungnya.
Gagasan kreatif semacam ini, yang hadir dalam kumpulan esai tersebut, menunjukkan bahwa warisan budaya takbenda harus diadaptasi dan dialihwahanakan agar tetap relevan, bukan hanya disimpan atau dibiarkan terlupakan.
Hartanti Maya Krisna dari Direktorat Kerja Sama, Promosi, dan Diplomasi Kebudayaan Kementerian Kebudayaan RI menegaskan perlunya strategi nasional yang menghubungkan akar budaya lokal dengan panggung global melalui diplomasi berbasis data, jejaring, dan cerita yang lahir dari komunitas.
Ia menekankan pentingnya data dan dokumentasi dalam pewarisan budaya, serta mengingatkan bahwa Warisan Budaya Takbenda hanya akan bertahan jika tetap relevan, terus diciptakan kembali, dan diwariskan lintas generasi.
Menurutnya, pelestarian bukan sekadar menjaga bentuk fisik seperti tarian, lagu, alat musik, atau kerajinan, melainkan juga memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan makna yang menyertainya. Maya menambahkan bahwa setiap langkah perlindungan harus melibatkan serta mendapat persetujuan komunitas pemilik, karena intervensi luar yang tidak tepat justru bisa mengubah nilai budaya tersebut.
“Patut diingat, pelestarian wajib menghormati praktik adat yang membatasi akses terhadap unsur tertentu, termasuk WBTb yang bersifat sakral atau rahasia,” katanya.
Editor: Lilicya